Mesir Bersikap Hati-hati dalam Menjalin Hubungan dengan Suriah Pasca Kejatuhan Rezim Assad
Pelitadigital.id – Pemerintah Mesir menunjukkan sikap hati-hati dalam menjalin hubungan dengan Suriah setelah kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) mengambil alih pemerintahan, menggantikan rezim Bashar al-Assad yang telah berkuasa selama lebih dari satu dekade. Keputusan ini didasari oleh kekhawatiran mendalam terhadap dampak perubahan politik di Suriah bagi stabilitas kawasan dan dalam negeri Mesir sendiri.
Selama 11 tahun terakhir, Mesir secara konsisten mendukung rezim Assad. Namun, pergantian kekuasaan yang dipimpin oleh HTS memaksa Kairo untuk lebih cermat menilai langkah diplomatiknya. Merissa Khurma, Direktur Program Timur Tengah di Wilson Center, menjelaskan bahwa sikap ini mencerminkan kehati-hatian Mesir yang historis terhadap kelompok-kelompok Islamis.
“Bagi Mesir, hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran, terutama mengingat sejarah Ikhwanul Muslimin di negara tersebut,” ujar Khurma, Sabtu (4/1), dikutip dari AFP.
Pendekatan Diplomatik yang Cermat
Berbeda dengan beberapa negara Arab yang lebih cepat mengakui pemerintahan baru di Suriah, Mesir mengambil langkah yang lebih lambat. Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, baru menghubungi mitranya dari Suriah tiga minggu setelah pernyataan dukungan Kairo kepada Assad menjelang kejatuhannya. Dalam komunikasi itu, Abdelatty menekankan pentingnya inklusivitas dalam pemerintahan baru di Damaskus.
Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, mengonfirmasi adanya pembicaraan tersebut. Ia menyatakan bahwa kedua negara memiliki peran penting dalam “mencapai stabilitas dan kemakmuran untuk wilayah tersebut.”
Langkah konkret yang diambil Mesir terlihat pada Sabtu lalu ketika sebuah pesawat bantuan kemanusiaan mendarat di Damaskus, menjadi pengiriman pertama dari Kairo sejak jatuhnya Assad. Meski demikian, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi masih berhati-hati dalam memberikan pernyataan resmi terkait perubahan situasi di Suriah.
“Mereka yang membuat keputusan di Suriah adalah rakyat negara itu. Mereka dapat menghancurkannya atau membangunnya kembali,” ujar Sisi dalam pertemuan dengan tokoh media yang berafiliasi dengan pemerintah.
Kekhawatiran Keamanan Dalam Negeri
Selain mempertimbangkan dinamika regional, Mesir juga bergerak untuk menjaga stabilitas dalam negeri. Pasukan keamanan dilaporkan menahan 30 warga Suriah yang merayakan jatuhnya Assad di Mesir. Dari jumlah tersebut, tiga orang bahkan menghadapi ancaman deportasi. Pemerintah juga memperketat aturan visa bagi warga Suriah dengan mewajibkan mereka memperoleh izin keamanan terlebih dahulu.
Mirette Mabrouk, peneliti senior di Institut Timur Tengah, menyoroti risiko yang dihadapi Mesir dari situasi di Suriah. “Di sini ada aktor non-negara dan kelompok Islamis yang keduanya merupakan ancaman bagi Mesir,” jelas Mabrouk.
Jejak Ikhwanul Muslimin dalam Krisis Suriah
Isu Ikhwanul Muslimin turut menjadi sorotan dalam hubungan Mesir-Suriah. Foto pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang berpose bersama Mahmoud Fathi, tokoh Ikhwanul Muslimin yang dijatuhi hukuman mati secara in absentia, memicu kemarahan publik di Mesir. Fathi dihukum atas tuduhan pembunuhan mantan jaksa penuntut umum Hisham Barakat.
Di sisi lain, otoritas Lebanon menangkap aktivis oposisi Mesir, Abdul Rahman al-Qaradawi, atas permintaan pemerintah Mesir setelah ia secara daring merayakan kejatuhan Assad. Qaradawi sebelumnya menyerukan pembaruan gelombang protes Musim Semi Arab yang menggulingkan presiden Mesir Hosni Mubarak pada 2013.
Sikap berhati-hati Mesir mencerminkan upaya pemerintah menjaga stabilitas domestik di tengah perubahan geopolitik kawasan. Dengan sejarah panjang hubungan Mesir dan Suriah, langkah-langkah ini menunjukkan bagaimana Kairo mencoba menyeimbangkan diplomasi regional dengan keamanan dalam negeri.