Kopdes Merah Putih Tuai Pro dan Kontra, Ini Kata Serikat Petani dan Celios

Pelitadigital.id – Gagasan pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih terus menjadi sorotan. Di satu sisi, keberadaannya dinilai bisa menjadi jalan keluar bagi petani untuk keluar dari jerat tengkulak dan rentenir, namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini justru bisa menimbulkan persoalan baru di tingkat desa.
Dilansir dari https://beritaburung.news/ Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, melihat Kopdes Merah Putih sebagai peluang strategis untuk memperkuat posisi petani dan masyarakat desa dalam sistem ekonomi nasional. Ia menyatakan, koperasi ini memiliki potensi untuk mengambil alih peran yang selama ini dimainkan oleh perusahaan besar yang kerap dinilai tidak memberikan keuntungan signifikan bagi petani.
“Menurut kita bisa, bisa akan mengambil alih peran-peran yang selama ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang menurut kita itu tidak menguntungkan kepada petani. Rakyat bisa mengelolanya melalui koperasi-koperasi tersebut,” ujar Henry dikutip dari https://beritaburung.news/ .
Lebih lanjut, Henry menekankan pentingnya agar koperasi ini benar-benar dikendalikan oleh petani dan warga desa, bukan aparat pemerintah. Ia menegaskan bahwa peran pemerintah seharusnya hanya sebatas memfasilitasi lahirnya koperasi, bukan sebagai pengelola utama.
“Pemerintah itu hanya sifatnya mendorong kelahiran dari koperasi-koperasi ini. Yang kedua, Kopdes Merah Putih ini adalah salah satu dari koperasi-koperasi yang selama ini sudah ada maupun koperasi lainnya. Jadi, dia ini mendampingi atau melengkapi koperasi yang selama ini sudah ada, biar bertumbuh,” lanjutnya.
Namun di tengah optimisme tersebut, muncul kritik dari sejumlah kalangan, terutama terkait desain kebijakan dan potensi dampaknya terhadap tata kelola anggaran desa. Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, menilai bahwa wacana penghapusan tengkulak seharusnya bukan menjadi fokus utama.
“Sekarang tantangannya adalah soal desain kebijakan. Kalau desain kebijakan, regulasi, dan model pembiayaan seperti sekarang, yang terjadi adalah inefisiensi anggaran. Ada potensi kekacauan pembiayaan. Tidak yakin juga bisa mengatasi tengkulak,” ujarnya kepada Media, Sabtu (19/4/2025).
Askar juga menyoroti besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk program ini. Dalam unggahan di media sosialnya, ia menyebut bahwa untuk membentuk 80 ribu Kopdes Merah Putih, dibutuhkan dana sebesar Rp 400 triliun. Angka ini menuai reaksi keras dari banyak kepala desa yang merasa program ini bisa memangkas alokasi dana desa yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak lainnya, termasuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah lebih dahulu berjalan.
“Kepala desa yang kritis menolak rencana ini, karena berpotensi memangkas dana desa yang bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting di desa serta mematikan upaya pengembangan BUMDes yang tengah berjalan,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menilai instruksi presiden yang mewajibkan penerima bantuan sosial (bansos) menjadi anggota Kopdes Merah Putih justru bertentangan dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan mandiri.
“Langkah ini berlawanan dengan semangat koperasi yang berbasis ‘sukarela’, dan membangun dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Desa punya keunikan, potensi, dan masalah yang berbeda. Sekarang, pemerintah menggunakan tangannya untuk melakukan penyeragaman program, tersentralisasi dan berpotensi menjadi alat kontrol politik, mengerdilkan peran desa. Kebijakan ini justru menarik mundur semangat membangun dari desa yang digagas oleh pendahulu bangsa,” pungkasnya.
Meski demikian, diskursus mengenai Kopdes Merah Putih belum menemukan titik temu antara harapan penguatan ekonomi rakyat dan kekhawatiran terhadap efektivitas serta arah kebijakan. Tantangannya kini tidak hanya pada pelaksanaan teknis, namun juga memastikan agar inisiatif koperasi ini benar-benar membangkitkan kemandirian desa tanpa menjadikannya objek kontrol politik baru.